Srimpi adalah bentuk repertoar (penyajian) tari Jawa klasik dari tradisi kraton Kesultanan Mataram dan dilanjutkan pelestarian serta pengembangan sampai sekarang oleh empat istana pewarisnya di Jawa Tengah (Surakarta) dan Yogyakarta[1][2].
Penyajian tari pentas ini dicirikan dengan empat penari melakukan gerak gemulai yang menggambarkan kesopanan, kehalusan budi, serta kelemahlembutan yang ditunjukkan dari gerakan yang pelan serta anggun dengan diiringi suara musik gamelan.[3][4] Srimpi dianggap mempunyai kemiripan posisi sosial dengan tari Pakarena dari Makasar, yakni dilihat dari segi kelembutan gerak para penari[5] dan sebagai tarian keraton.
Sejak dari zaman kuno, tari Serimpi sudah memiliki kedudukan yang istimewa di keraton-keraton Jawa dan tidak dapat disamakan dengan tari pentas yang lain karena sifatnya yang sakral.[6] Dulu tari ini hanya boleh dipentaskan oleh orang-orang yang dipilih keraton.[6] Serimpi memiliki tingkat kesakralan yang sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambang kekuasaan raja yang berasal dari zaman Jawa Hindu, meskipun sifatnya tidak sesakral tari Bedhaya.[6][7][8]
Dalam pagelaran, tari serimpi tidak selalu memerlukan sesajen seperti pada tari Bedhaya, melainkan hanya di waktu-waktu tertentu saja.[7] Adapun iringan musik untuk tari Serimpi adalah mengutamakan paduan suara gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.[7]
Serimpi sendiri telah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa, di antaranya durasi waktu pementasan.[9] Kini salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Tengah ini dikembangkan menjadi beberapa varian baru dengan durasi pertunjukan yang semakin singkat.[9] Sebagai contoh Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit dan juga Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit yang awal penyajiannya berdurasi kurang lebih 60 menit.[10]
Selain waktu pagelaran, tari ini juga mengalami perkembangan dari segi pakaian.[11] Pakaian penari yang awalnya adalah seperti pakaian yang dikenakan oleh pengantin putri keraton dengan dodotan dan gelung bokor sebagai hiasan kepala, saat ini kostum penari beralih menjadi pakaian tanpa lengan, serta gelung rambut yang berhiaskan bunga ceplok, dan hiasan kepala berupa bulu burung kasuari.[11][12]
Sejarah dan filosofi
Kemunculan tari Serimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan Agung memerintah pada tahun 1613-1646.[13] Tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan dalam lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan sampai peringatan kenaikan tahta sultan.[13] Pada tahun 1775 Kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.[13] Perpecahan ini berimbas pada tari Serimpi sehingga terjadi perbedaan gerakan, walaupun inti dari tariannya masih sama.[13] Tari ini muncul di lingkungan keraton Surakarta sekitar tahun 1788-1820.[9] Dan mulai tahun 1920-an dan seterusnya, latihan tari klasik ini dimasukkan ke dalam mata pelajaran Taman-taman siswa Yogyakarta dan dalam perkumpulan tari serta karawitan Krida Beksa Wirama.[7] Setelah Indonesia merdeka, tari ini kemudian juga diajarkan di akademi-akademi seni tari dan karawitan pemerintah, baik di Solo maupun di Yogyakarta.[7]Awalnya tari ini bernama Srimpi Sangopati yang merujuk pada suatu pengertian, yakni calon pengganti raja.[14] Namun, Serimpi sendiri juga mempunyai arti perempuan.[15] Pendapat yang lain, menurut Dr. Priyono, nama serimpi dapat dikaitkan ke akar kata “impi” atau mimpi.[13] Maksudnya adalah ketika menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang 3/4 hingga 1 jam itu, para penonton seperti dibawa ke alam lain, yakni alam mimpi.[13]
Pertunjukkan tari asal Jawa Tengah ini biasanya berada di awal acara karena berfungsi sebagai tari pembuka, selain itu, tari ini terkadang juga ditampilkan ketika ada pementasan wayang orang.[15][18] Sampai sekarang tari Serimpi masih dianggap sebagai seni yang adhiluhung serta merupakan pusaka keraton.[13]
Jenis-jenis
Tarian Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, dan Serimpi Genjung.[13][19] Untuk Kesultanan Surakarta, Serimpi digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan.[13] Salah satu jenis tari Serimpi yang lain adalah Serimpi Renggawati yang dipentaskann oleh lima orang, yakni empat penari ditambah dengan satu penari sebagai putri Renggawati.[17] Adapun kisah yang diceritakan adalah kisah Angling Dharma, seorang putra mahkota yang masih muda dan terkena kutukan menjadi burung Mliwis.[17] Dia akan dapat kembali ke wujud semula jika badannya tersentuh oleh tangan seorang putri cantik jelita (putri Renggawati).[17] Semua peristiwa ini dicerminkan dalam tari-tarian yang digelar oleh para penari serimpi Renggawati yang diakhiri dengan sebuah kebahagiaan.[17]Di luar tembok keraton, ada tari Serimpi yang juga ditarikan oleh lima penari, yakni Serimpi Lima.[8] Tari ini berkembang di wilayah pedesaan, yakni di tengah-tengah masyarakat desa Ngadireso, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang, Jawa Timur.[8] Di desa Ngadireso, Serimpi akan digelar saat ada upacara ruwatan, yakni suatu proses pembersihan diri yang bertujuan untuk menghilangkan nasib buruk serta aura negatif dalam diri seseorang yang dilakukan dengan cara tertentu.[20][21] Adapun ruwatan yang dilakukan adalah ruwatan murwakala, yakni ruwatan yang dilakukan untuk menyelamatkan atau melindungi seseorang yang diyakini akan menjadi mangsa atau makananan Bethara Kala.[8] Meskipun begitu, Serimpi ini bertemakan kegembiraan, erotik, dan sakral.[22] Serimpi Lima merupakan wujud dari gagasan dan aktivitas masyarakat pemiliknya.[22] Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural karena dalam lingkungan etnik, perilaku mempunyai wewenang yang amat besar dalam menentukan keberadaan kesenian termasuk tari tradisional.[22]
Bentuk serimpi tertua menurut sumber tertulis, diciptakan oleh Sri Pakubuwana V pada tahun Jawa 1748 atau sekitar tahun 1820-1823, yakni Serimpi Ludiramadu.[2] Tari ini diciptakan olehnya untuk mengenang ibunya yang berdarah Madura.[23] Untuk bentuk terbaru serimpi adalah Serimpi Pondelori, gubahan para guru perkumpulan tari Yogyakarta, kemudian ada Among Beksa yang dipentaskan oleh delapan orang penari dengan mengambil tema Menak.[2]
Serimpi Pondelori sendiri adalah suatu bentuk tari Serimpi khas Yogyakarta yang dipentaskan oleh empat orang.[14] Isinya adalah sebuah pertengkaran antara Dewi Sirtupilaeli dan Dewi Sudarawerti yang memperebutkan cinta dari Wong Agung Jayengrana, pangeran dari negeri Arab.[14]. Di akhir cerita tidak terjadi kekalahan maupun kemenangan karena dua kubu yang berseteru akhirnya semua dinikahi oleh pangeran.[14]
Kemudian ada tari Serimpi Tiongkok.[14] Yang membedakan dari tari ini adalah penarinya mengenakan baju khas orang Tionghoa.[14] Biasanya tari yang satu ini dibawakan di Istana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[14]
Selanjutnya adalah tari Serimpi Pamugrari, dinamakan seperti itu karena musik pengiringnya menggunakan gending pramugari.[14] Untuk senjata yang dibawa saat menari adalah pistol.[14]
sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Srimpi
0 komentar:
Posting Komentar