Sejarah[sunting | sunting sumber]
Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.[2] Suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintahKesultanan Mataram dari tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semadi.[3] Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tetembangan (senandung) dari arah tawang atau langit.[3] Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut.[3] Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.[3] Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.[3] Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung sendiri menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama Bedhaya Ketawang.[3]Menurut versi yang lain, dikisahkan pula bahwa dalam pertapaanya, Panembahan Senapati bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.[2]
Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Surakarta, dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta Sunan Surakarta.
Seputar Tarian dan Makna Filosofis di Dalamnya[sunting | sunting sumber]
Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang (lagu) yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja.
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke sepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga. Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari yang sembilan orang merupakan lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahardi Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.[2] Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.[2]
Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.[1] Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya[2]:
- Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.[2][3]
- Penari ke dua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.[2][3]
- Penari ke tiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.[2][3]
- Penari ke empat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.[2][3]
- Penari ke lima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.[2][3]
- Penari ke enam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.[2][3]
- Penari ke tujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
- Penari ke delapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
- Penari ke sembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari ke sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit.
Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Penari juga menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta,[4] serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.
Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Pakubuwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog. Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.[5]
sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Bedaya_ketawang
0 komentar:
Posting Komentar